Cara belajarnya koq masih Learning 2.0 ………..?
Kenapa memang? bisa
menciptakan kerepotan sendiri, masa sih…..?
Coba jawab dulu, .…. Punya berapa sumber daya manusia yang bekerjanya mengelola pembelajaran, guna memenuhi permintaan pembelajaran dari karyawan-karyawan atau kompetensi yang dibutuhkan oleh pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi ?
Kita berhitung sekarang ….
Seandainya jumlahnya cukup, bagaimana dengan kapabilitasnya? Apakah memikliki kemampuan mengelola semua proses pembelajaran dengan seimbang, mulai dari mengdiagnostik kebutuhan sampai dengan mengevaluasi hasilnya. Jawabannya, ……….. (dalam hatinya aja)
Di bawah ini sedikit diuraikan karakteristik dari Learning 2.0, yaitu :
Standarisasi
Semua elemen yang membentuk pengelolaan learning distandarkan
dengan persyaratan-persyaratan yang belum tentu semuanya relevan. Mulai dari
kurikulum, modul belajar, pengajar /fasilitator, alat peraga /aplikasi, dan lain-lain….
Semuanya ada standarnya.
Maksudnya sih baik, biar jika pesertanya banyak, atau kelas (batch)
nya banyak punya kualitas yang sama atau standar kompetensi yang sama.
Tapi, ada kekurangan dengan standarisasi ini, peserta yang
memiliki hal-hal yang tidak sama dengan standar seperti : kecepatan belajar, gaya belajar, bakat, minat, dan sebagainya
diperlakukan sama harus mengikuti standar yang dipersyaratkan. Kondisi seperti
ini semoga tidak melanggar HAB (Hak Azasi Belajar) …hehehehhe.
Marjinalisasi
Diobservasi sistem Learning 2.0, akhirnya memungkinkan adanya
marjinalisasi peserta. Maksudnya peserta yang berbeda dengan standar yang
dipersyaratkan dapat dilabel sebagai peserta yang berbeda. Bisa macam-macam
labelnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar