Kamis, 23 Juli 2020

Learning 2.0

Cara belajarnya koq masih Learning 2.0 ………..?

Kenapa memang?  bisa menciptakan kerepotan sendiri, masa sih…..?

Coba jawab dulu, .…. Punya berapa sumber daya manusia yang bekerjanya mengelola pembelajaran, guna memenuhi permintaan pembelajaran dari  karyawan-karyawan atau kompetensi yang dibutuhkan oleh pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi ? 

Kita berhitung sekarang ….

Seandainya jumlahnya cukup, bagaimana dengan kapabilitasnya?  Apakah memikliki kemampuan mengelola semua proses pembelajaran dengan seimbang, mulai dari mengdiagnostik kebutuhan sampai dengan mengevaluasi hasilnya.  Jawabannya, ……….. (dalam hatinya aja)

Di bawah ini  sedikit diuraikan  karakteristik dari Learning 2.0, yaitu :

Standarisasi

Semua elemen yang membentuk pengelolaan learning distandarkan dengan persyaratan-persyaratan yang belum tentu semuanya relevan. Mulai dari kurikulum, modul belajar, pengajar /fasilitator, alat peraga /aplikasi, dan lain-lain…. Semuanya ada standarnya.

Maksudnya sih baik, biar jika pesertanya banyak, atau kelas (batch) nya banyak punya kualitas yang sama atau standar kompetensi yang sama.

Tapi, ada kekurangan dengan standarisasi ini, peserta yang memiliki hal-hal yang tidak sama dengan standar seperti : kecepatan belajar, gaya belajar, bakat, minat, dan sebagainya diperlakukan sama harus mengikuti standar yang dipersyaratkan. Kondisi seperti ini semoga tidak melanggar HAB (Hak Azasi Belajar) …hehehehhe.

 

Marjinalisasi

Diobservasi sistem Learning 2.0, akhirnya memungkinkan adanya marjinalisasi peserta. Maksudnya peserta yang berbeda dengan standar yang dipersyaratkan dapat dilabel sebagai peserta yang berbeda. Bisa macam-macam labelnya.

Bagaimana…. punya pendapat ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar